Langsung ke konten utama

Makalah Perkembangan Sosial Emosional Anak Usia dini



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar belakang
        Setiap anak yang lahir ke dunia, sangat rentan dengan berbagai masalah. Masalah yang dihadapi anak, terutama anak usia dini, biasanya berkaitan dengan gangguan pada proses perkembangannya. Bila gangguan tersebut tidak segera diatasi maka akan berlanjut pada fase perkembangan berikutnya yaitu fase perkembangan anak sekolah. Pada gilirannya, gangguan tersebut dapat menghambat proses perkembangan anak yang optimal. Dengan demikian, penting bagi para orang tua dan guru untuk memahami permasalahan-permasalahan anak agar dapat meminimalkan kemunculan dan dampak permasalahan tersebut serta mampu memberikan upaya bantuan yang tepat.
B.     Rumusan masalah
1.    Apa yang dimaksud dengan perkembangan sosial emosional dan moral?
2.    Apa sajakah Permasalahan Sosial yang sering terjadi pada anak usia dini?
3.    Apa sajakah permasalahan Emosional yang sering terjadi pada anak usia dini?
4.    Apa sajakah permasalahan Moral yang sering terjadi pada anak usia dini?

C.      Tujuan
1.    Untuk mengetahui pengertian perkembangan sosial emosional dan moral
2.    Untuk mengetahui permasalah sosial yang terjadi pada anak usia dini
3.    Untuk mengetahui permasalahan emosional yang terjadi pada anak usia dini
4.    Untuk mengetahui permasalahan Moral yang terjadi pada anak usia dini



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian  Perkembangan Sosial dan Emosional
1.     Pengertian Sosial
        Menurut Plato (Nugraha, 2005:1-13) secara potensial (fitrah) manusia dilahirkan sebagai makhluk sosial (zoon politicon). Syamsuddin (1995:105) mengungkapkan bahwa “sosialisasi  adalah proses belajar untuk menjadi makhluk sosial”, sedangkan menurut Loree (Nugraha, 1970 : 86) “sosialisasi merupakan suatu proses dimana individu (terutama) anak melatih kepekaan dirinya terhadap rangsangan-rangsangan sosial terutama tekanan-tekanan dan tuntutan kehidupan (kelompoknya) serta belajar bergaul dengan dengan bertingkah laku, seperti orang lain di dalam lingkungan sosialnya.
       Muhibin (1999:35) mengatakan bahwa perkembangan sosial merupakan proses pembentukan social self (pribadi dalam masyarakat), yakni pribadi  dalam keluarga, budaya, bangsa dan seterusnya. Adapun Harlock (1978 : 250) mengutarakan bahwa perkembangan sosial merupakan pemerolehan kemampuan berperilaku yang sesuai dengan tuntutan sosial.
Jadi dapat disimpulkan bahwa perkembangan sosial adalah kemampuan seseorang dalam berperilaku di dalam lingkungan sekitarnya (masyarakat) yang sesuai dengan tuntutan sosial (norma, nilai atau harapan sosial). Sumber : (Nugraha, 2005 : 1.13)
2.     Pengertian Emosional
        Emosi adalah perasaan yang ada dalam diri seseorang, dapat berupa perasaan senang atau tidak senang, perasaan baik atau buruk. Dalam World Book Dictionary (1994: 690) emosi didefinisikan sebagai “berbagai perasaan yang kuat”. Perasaan benci, takut, marah, cinta, senang dan kesedihan. Macam-macam perasaan tersebut adalah gambaran dari emosi. Goleman (1995:441) menyatakan bahwa “emosi merujuk pada suatu perasaan atau pikiran-pikiran khasnya, suatu keadaan biologis dan psikologis serta seraikaian kecenderungan untuk bertindak”.
Syamsudin (1990:69) mengemukakan bahwa “emosi merupakan suatu suasana yang kompleks (a complex feeling state) dan getaran jiwa (stid up state) yang menyertai atau muncul sebelum atau sesudah terjadnya perilaku”.
Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa perkembangan emosional adalah suatu keadaan yang kompleks, dapat berupa perasaan ataupun getaran jiwa yang ditandai oleh perubahan biologis yang muncul menyertai terjadinya suatu perilaku. Sumber : (Nugraha, 2005 : 1.2)
B.    Perkembangan Sosial dan Emosional Anak Usia Dini
a.     Perkembangan Pemahaman Diri
Pemahaman diri mencakup berbagai hal, seperti kesadaran diri (self-awareness), pengenalan diri (self-recognition), konsep diri (self-concept), dan harga diri (self-esteem). Konsep diri merupakan gambaran menyeluruh tentang atribut, kemampuan, sikap, dan nilai-nilai yang dimiliki individu, yang diyakini olehnya memberikan gambaran tentang siapa dirinya. Harga diri merupakan bagian dari konsep diri yang berisi penilaian seseorang tentang seberapa bernilai dirinya.
b.    Perkembangan Hubungan Sosial
Pada masa kanak-kanak awal, hubungan sosial dengan teman sebayanya menjadi meningkat, terutama dalam konteks bermain. Dalam pengamatannya terhadap perilaku anak usia 2-5 tahun, Parten (2014 : 4.43) mengidentifikasi enam kategori perilaku anak di masa kanak-kanak dalam bermain sosial dan non sosial. Berikut penjelasannya:
1)   Unoccupied Behavior
Anak tidak tampak sedang bermain, hanya mengamati hal-hal yang menarik minatnya.
2)   Onlooker Behavior
Anak menghabiskan waktunya dengan mengamati anak lain bermain. Anak berbicara, bertanya, atau membuat usulan tetapi tidak ikut bermain. Anak secara jelas mengamati kelompok anak lain dan bukannya melakukan sesuatu yang menarik minatnya.


3)   Solitary Independent Play
Anak bermain sendiri dengan mainan yang berbeda dari mainan yang dimainkan oleh anak-anak yang ada di dekatnya dan tidak melakukan usaha apapun untuk mendekati anak lain yang sedang bermain di dekatnya.
4)   Parallel Play
Anak bermain di antara anak-anak lain dengan mainan yang sama seperti yang dimainkan oleh anak lain, tetapi mereka bermain sendiri-sendiri dan tidak harus dalam cara yang sama. Setiap anak tidak berupaya untuk mempengaruhi kegiatan bermain anak lain.
5)   Associative Play
Anak bermain dengan anak lain, saling berbicara tentang apa yang dimainkan, saling meminjam mainan, mengikuti satu sama lain, dan berusaha untuk mengontrol siapa yang boleh bermain di dalam kelompok.
6)   Cooperative Play
Anak dalam bermain dalam kelompok yang terorganisasi untuk sejumlah tujuan, untuk membuat sesuatu, memainkan permainan yang lebih formal, atau melakoni suatu situasi.
c.    Perkembangan Kemampuan Mengarahkan Diri (Self-Regulation)
Self-Regulation merupakan kemampuan anak untuk mengarahkan perilakunya sendiri tanpa diingatkan oleh orang tua atau orang lain. Dalam hal ini, anak mampu mengarahkan tindakannya untuk mematuhi aturan sosial. Sebagai contoh, anak dapat mengikuti kegiatan di dalam kelas tanpa harus diingatkan oleh guru. Beberapa anak mencapai kemampuan mengarahkan diri pada usia 4-5 tahun. Namun, ada pula anak yang tetap bergantung pada orang dewasa untuk mengontrol perilakunya agar sejalan dengan aturan yang diberikan.
d.    Perkembangan Perilaku Sosial
Terdapat sejumlah bentuk perilaku sosial diantaranya adalah :
1)   Perkembangan Perilaku Prososial
Perilaku prososial merupakan perilaku yang disengaja dengan maksud memberi keuntungan kepada orang lain. Tingkah laku prososial mencakup perilaku-perilaku, seperti berbagi dan bekerja sama dengan orang lain, menolong dan peduli terhadap orang lain, serta bersimpati dan memberi rasa nyaman pada orang yang tertekan.
2)   Perkembangan Empati
Empati merupakan kemampuan untuk menempatkan diri dalam posisi orang lain dan merasakan apa yang orang lain rasakan dalam situasi tertentu.
C.     Permasalahan Sosial dan Emosional pada Anak Usia Dini
         Menurut Undang-Undang bagi Pendidikan Individu Penyandang cacat (IDEA) bahwa gangguan sosial emosi yaitu ketidak mampuan atau mengatur hubungan interpersonal  yang memuaskan dengan teman sebaya dan guru.
Rolf, Edelbrock dan Strauss menemukan bahwa anak-anak dengan masalah perkembangan sosial emosi cenderung memiliki hambatan yang besar dalam pertemanan, penyesuaian sosial, tingkah laku dan dan akademis apabila dibandingkan dengan kelompok anak yang normal.
1.    Permasalahan Perilaku Sosial
Menurut Nugraha (2005:11) berikut adalah beberapa permasalahan yang biasa dihadapi oleh anak usia dini diantaranya adalah sebagai berikut:
a.   Maladjustment
Individu yang penyesuaian dirinya buruk disebut maladjustment. Anak yang demikian sering disebut sebagai anak yang bermasalah. Ada dua jenis maladjustment, yaitu sebagai berikut:
1)   Anak puas terhadap tingkah lakunya, tetapi lingkungan sosial tidak dapat menerima. Misalnya saja anak bersikap sangat bossy, sok kuasa. Si anak sendiri tidak merasa ada yang salah pada dirinya, sementara lingkungan tidak bisa menerima itu.
2)   Tingkah laku diterima lingkungan sosial, tetapi menimbulkan konflik yang berkepanjangan pada anak misalnya anak berpenampilan sopan, ramah, dan memiliki segala perilaku yang dapat diterima oleh lingkungan, padahal itu bukan tingkah laku yang sebenarnya ingin ia tampilkan. Anak melakukan hal itu karena terpaksa (atau bisa juga karena takut). 
Maladjustment umumnya disebabkan adanya penolakan diri. Anak tidak menyukai dirinya sendiri dan juga orang lain (ketidakpuasan terhadap diri menularkan ketidakpuasan terhadap lingkungan). Biasanya penolakan diri terjadi karena anak merasa tidak seperti apa yang ia inginkan.
Adapun beberapa ciri yang biasa muncul pada anak bermasalah diantaranya sebagai berikut: 
-          Menunjukkan kekhawatiran dan kecemasan yang berlebihan, 
-          Sering tampak depresi dan jarang tersenyum atau bercanda, 
-          Suka mencuri benda-benda kecil walaupun sering dihukum, 
-          Sering tenggelam dalam lamunan, Sering bertengkar dengan anak yang lebih kecil (tempat ia bisa menunjukkan kekuasaan), 
-          Merasa diperlakukan tidak adil (misalnya dihukum lebih banyak dibanding anak lain), 
-          Sangat cemas terhadap penampilan diri, Tidak mampu mengubah tingkah laku yang salah walaupun sering dimarahi atau dihukum, 
-          Suka berbohong, Sulit mengambil keputusan, 
-          Melawan terhadap setiap bentuk otoritas, Ngompol yang berkelanjutan, 
-          Berkata atau mengancam mau bunuh diri, Sering merusak, Membandut untuk menarik perhatian, 
-          Menyalahkan orang lain atau mencari alasan bila ditegur, dan Suka mengadu untuk mendapat perhatian orang dewasa.
Hal yang paling mendasar dalam mencegah timbulnya masalah maladjustment adalah usaha meningkatkan pengenalan terhadap diri dan lebih realistik terhadap kemampuan sendiri. Dalam hal ini dukungan lingkungan sangat berpengaruh karena usaha perbaikan akan sia-sia, bila lingkungan tetap menuntut sesuatu yang tidak realistis.
b.   Egosentrisme
Seseorang dikatakan egosentris bila lebih peduli terhadap dirinya sendiri daripada orang lain. Mereka lebih banyak berpikir dan bicara mengenai diri sendiri dan aksi mereka semata-mata untuk kepentingan pribadi. Umumnya, anak-anak masih egosentris dalam berpikir dan berbicara. Hal ini bisa merugikan diri dan sosial jika berkelanjutan. Karena umumnya begitu anak memasuki dunia sekolah, egosentrisme sedikit demi sedikit mulai berkurang.
Ada tiga hal yang mendasari egosentrisme, yaitu sebagai berikut :
1)   Merasa Superior. Karena merasa superior, anak egosentris berharap orang menunggunya, memuji sepak terjangnya, dan diberi peran pimpinan. Mereka menjadi sok berkuasa, tidak peduli terhadap orang lain, tidak mau bekerja sama, dan sibuk bicara mengenai diri sendiri.
2)   Egosentrisme karena merasa inferior. Individu akan memfokuskan semua permasalahan terhadap diri sendiri karena merasa tidak berharga di dalam kelompok. Anak yang demikian biasanya mudah dipengaruhi dan selalu mau disuruh orang lain. Karena selalu merasa bahwa andil mereka dalam kelompok sangat kecil maka sering kali mereka justru diabaikan. Namun, bukan berarti mereka tidak disukai.
3)   Egosentrisme karena merasa menjadi korban. Perasaan tidak diperlakukan secara adil membuat mereka marah kepada semua orang. Akibatnya keinginan mereka untuk ikut andil dalam kelompok sangat kecil dan kelompok cenderung mengabaikan mereka. Apabila mereka menunjukkan kemarahannya secara agresif maka kelompok akan menolaknya.
c.    Anak yang Terisolasi
Isolated child merupakan anak yang terisolasi dari lingkungannya. Ia mengalami masalah penerimaan sosial. Hal ini dapat terjadi karena sikap dan perilaku anak yang kurang disukai teman-temannya. Atau anak sendiri yang tidak suka melakukan interaksi sosial, dan menjalin hubungan pertemanan. Untuk mengidentifikasi anak yang mengalami masalah penerimaan sosial, kita dapat melakukan sosiometri untuk menemukan siapakah anak yang paling disukai dan yang paling tidak disukai. Dengan demikian, guru dapat menemukan anak bermasalah dan perlu membimbingnya.
Adapun kategori penerimaan anak dalam lingkungan sosial sebagai mana yang dikemukakan Hurlock (1978:11.12), adalah sebagai berikut:
1)   Star, yaitu anak yang disenangi oleh lingkungan temannya sehingga populer.
2)   Accepted, anak yang cukup dapat diterima lingkungan temannya sehingga cukup populer.
3)   Climber, yaitu anak yang berusaha untuk diterima oleh lingkungan teman sebayanya dengan mengikuti keinginan/peraturan lingkungan. Anak di sini selalu takut bila tidak mengikuti akan kehilangan teman.
4)   Fringer (pinggiran), yaitu anak seperti golongan climber, tetapi lebih takut tidak diterima.
5)   Ineglettee, yaitu anak yang ditolak lingkungan sebab mereka pemalu, menolak atau membuat ulah yang negatif.
6)   Isolate, yaitu anak yang terisolasi dari lingkungan teman sebayanya dapat karena tidak ada motivasi dalam diri anak itu untuk bergaul atau anak tidak menarik bagi lingkungannya.
d.    Agresif
Agresif merupakan tingkah laku menyerang baik secara fisik maupun verbal atau baru berupa ancaman yang disebabkan adanya rasa permusuhan. Tingkah laku ini sering kali muncul sebagai reaksi terhadap frustasi, misalnya karena dilarang melakukan sesuatu. Agresi juga sering timbul karena tingkah laku agresif yang sebelumnya mengalami penguatan. Hal ini terjadi karena ada beberapa keluarga dimana anak agresif justru dihargai. Selain itu tingkah laku orang tua sering dicontoh oleh anak. Biasanya tingkah laku yang muncul pada anak dapat marah secara verbal maupun menyerang, temper tantrum, dan merusak.
e.    Negativisme
Negativisme adalah perlawanan terhadap tekanan dari pihak lain untuk berperilaku tertentu. Perilaku ini biasanya dimulai pada anak usia dua tahun dan mencapai puncaknya antara usia tiga sampai enam tahun. Ekspresi fisiknya mirip dengan ledakan kemarahan, namun secara bertahap berubah menjadi penolakan secara lisan untuk menuruti perintah. Masa ini biasa juga disebut sebagai masa “berkata tidak” karena hampir semua hampir semua permintaan dijawab anak dengan berkata “tidak”. Negativisme ini akan menjadi masalah yang berarti jika orang dewasa kurang memahami kelaziman masa ini. Masa ini akan berakibat buruk jika orang dewasa memperlakukan anak dengan paksaan, tekanan ataupun menegurnya dengan kata-kata celaan atau hardikan yang justru akan memperburuk keadaan.
f.   Pertengkaran
Pertengkaran merupakan perselisihan pendapat yang mengandung kemarahan. Perilaku ini umumnya dimulai apabila seseorang melakukan penyerangan terhadap orang lain yang tidak beralasan.
g.   Mengejek dan Menggertak
Mengejek merupakan serangan secara lisan terhadap orang lain, sedangkan menggertak merupakan serangan yang bersifat fisik. Dengan dua perilaku ini si penyerang melampiaskan dendamnya dan menyaksikan ketidakenakan korban akibat perilakunya.
h.   Perilaku yang Sok Kuasa
Perilaku sok kuasa adalah perilaku yang berkecenderungan untuk mendominasi orang lain atau menjadi “bos”. Perilaku ini pada umumnya tidak disukai oleh lingkungan sosial.
i.    Prasangka
Menurut Hurlock (1991:11.13) prasangka ini terbentuk pada masa kanak-kanak tatkala anak melihat adanya perbedaan sikap dan penampilan di antara mereka, dan perbedaan ini dianggap sebagai tanda kerendahan. Pada perkembangan selanjutnya prasangka muncul karena individu tidak berpikir positif terhadap kejadian yang dialaminya.
2.      Permasalahan Prilaku Emosi pada Anak Usia Dini
Dalam perkembangannya, kita akan menemukan berbagai macam permasalahan emosi yang muncul di sekeliling kita. Banyak faktor yang menentukan munculnya permasalahan emosi pada anak yang paling utama adalah peranan keluarga.
Pada dasarnya fondasi emosi yang sehat dibangun atas dasar penerimaan dan penghargaan terhadap dirinya. Perwujudan dari perasaan ini, yang paling awal adalah anak dapat merasakan kasih sayang dari orang-orang terdekatnya. Jika anak kehilangan perasaan ini maka sulit ia akan memiliki emosi yang sehat. Menurut Nugraha (2005:11.2) Berikut adalah jenis-jenis permasalahan emosi yang sering terjadi pada anak usia dini:
a.    Kekurangan Afeksi
       Afeksi dapat meliputi perasaan kasih sayang, rasa kehangatan, dan persahabatan yang ditunjukkan pada orang lain. Setiap orang mempunyai kebutuhan untuk memberi dan menerima afeksi. Gangguan yang ditimbulkan akibat dari kekurangan afeksi dapat berupa:
1)   Perkembangan fisik yang terlambat, dapat menyebabkan anak depresi, akibatnya terjadi hambatan sekresi (pengeluaran) hormon pituitary, yaitu hormon yang berfungsi untur mengatur metabolisme dan pertumbuhan perkembangan badan sehingga perkembangan fisik akan terganggu.
2)   Gagap atau mengalami gangguan bicara
3)   Sulit konsentrasi dan mudah teralih perhatiannya
4)   Sulit mempelajari bagaimana membina hubungan dengan orang lain
5)   Mereka sering kali tampak agresif dan nakal
6)   Kurangnya minat terhadap orang lain, menarik diri, egois, dan penuntut
7)   Pada taraf berat dapat menyebabkan gangguan jiwa
Kurangnya afeksi memang dapat mengganggu penyesuaian diri dan perkembangan sosial anak. Akan tetapi, bukan berarti afeksi yang berlebihan akan lebih baik. Individu yang terlalu banyak mendapat afeksi pun akan kesulitan dalam penyesuaian diri. Karena pelimpahan afeksi yang berlebihan justru menghalangi anak belajar mengekspresikan afeksi kepada orang lain.
b.    Anxiety (Cemas)
       Anxietas atau cemas adalah rasa takut pada sesuatu tanpa sebab yang jelas, yang sering kali berlangsung lama. Biasanya rasa takut ini juga dibarengi oleh kegelisahan dan dugaan-dugaan akan terjadinya hal-hal buruk, seperti kematian, kecelakaan dan sebagainya. Pada anak, rasa cemas biasanya terjadi saat ia berusia sekitar 3 tahun, bentuknya bisa berupa cemas kehilangan kasih sayang orang tua, cemas akan mengalami rasa sakit, cemas karena merasa berbeda dengan orang lain, atau mengalami kejadian yang tidak menyenangkan.
Sumber-sumber yang menimbulkan rasa tidak aman pada anak, yaitu sebagai berikut:
1)   Orang tua atau guru yang tidak konsisten. Hal ini dapat membuat anak merasa kehidupan sebagai sesuatu yang tidak dapat diduga dan menakutkan.
2)   Orang tua yang terlalu menuntut kesempurnaan atas prestasi anak
3)   Tidak adanya batasan atau aturan yang jelas dari orang tua, mana yang boleh dan tidak boleh, mana yang buruk dan yag baik. Kecemasan muncul karena anak tidak dapat menentukan batasan sendiri dalam bertingkah laku.
4)   Kritik yang berlebihan dari orang tua atau orang dewasa lain dan kelompok sebaya.
5)   Seringnya anak diingatkan mengenai tugas dan tanggung jawabnya bila ia dewasa kelak.
6)   Merasa bersalah. Ini biasanya karena anak membayangkan hukuman yang akan diterimanya.
7)   Model dari orang tua. Orang tua yang pencemas sering kali mempunyai anka yang pencemas pula karena anak belajar dari orang tuanya bagaimana peran orang tua secara umum memandang kehidupan.
8)   Frustasi yang terus-menerus. Terlalu sering mengalami frustasi dapat menyebabkan kemarahan dan kecemasan. Hal ini dapat pula disebabkan target yang terlalu tinggi sehingga anak sulit mencapai tujuannya. Perasaan tidak mampu inilah yang menimbulkan kecemasan.
Adapun upaya yang dapat dilakukan guru ataupun orang tua untuk menangani anak yang cemas, diantaranya dapat melakukan hal-hal berikut :
1)   Menentramkannya, anak pencemas butuh ditentramkan oleh orang dewasa yang tenang. Oleh karena itu, orang tua harus tetap tenang bila anak gelisah, rewel, menangis, pucat atau panik.
2)   Mencoba untuk mengalihkan perhatian anak dari hal-hal atau bayangan-bayangan yang membuatnya cemas.
3)   Tidak mendesak anak untuk memberikan penjelasan. Desakan orang tua sering kali membuat anak merasa tidak dimengerti.
4)   Ajaklah anak untuk melakukan relaksasi. Dengan menarik napas dalam, menghembuskan napas secara perlahan sambil berkata “Tenang” atau “Semua akan beres” anak telah melakukan relaksasi termudah.
5)   Melakukan hal-hal yang menenangkan, seperti mendengarkan musik, menggambar, atau membaca ketika merasa cemas.
6)   Membiasakan anak mengekspresikan perasaannya melalui permainan atau cerita.
7)   Meminta bantuan ahli bila kecemasan anak berlarut-larut.
c.    Hipersensitivas
       Hipersensitivas adalah kepekaan emosional yang berlebihan dan cukup sering dijumpai pada anak-anak. Anak dikatakan hipersensitif  bila ia mudah sekali merasa sakit hati dan menunjukkan respons yang berlebihan terhadap sikap dan perhatian orang lain. Anak yang hipersensitif tidak bisa menerima penilaian, komentar, dan kritik orang lain tanpa rasa sakit hati. Penyebab tumbuhnya sikap hipersensitif diantaranya karena merasa kurang dan tidak sama dengan orang lain. Anak merasa dirinya tidak sepandai, semenarik atau sepopuler anak-anak lain.
Adapun langkah yang dapat dilakukan orang tua ataupun para pendidik lainnya dalam menangani anak hipersensitif diantaranya sebagai berikut:
1)   Menghindari sikap overprotective terhadap anak, sebaliknya orang tua hendaknya menguatkan diri dalam menghadapi lingkungan sosial yang memang penuh dengan beragam sifat manusia.
2)   Dalam proporsi yang wajar anak perlu diperkenalkan apa kritik. Namun, harus diingat sebaiknya orang tua atau guru tidak mengkritik anak dengan cara merendah-rendahkan dirinya, tetapi bangkitkan semangatnya untuk memperbaiki diri.
3)   Orang tua dan para pendidik lainnya hendaknya mengajarkan anak untuk memandang dirinya secara proporsional. Tidak melebih-lebihkan segi positifnya, tidak juga menyepelekan kekurangannya.
4)   Selain itu orang tua dan guru sebaiknya mengajarkan keterampilan untuk mengatasi masalah pada anak.
d.   Fobia
      Fobia adalah perasaan takut yang irasional terhadap suatu objek yang sebenarnya tidak berbahaya atau tidak menyeramkan. Jadi, tidak ada sumber bahaya yang mengancam secara nyata. Fobia merupakan suatu gangguan psikologis yang perlu diatasi, terutama bila intensitasnya sangat kuat sehingga mengganggu kelancaran kehidupan sehari-hari.
Fobia terdiri dari aspek emosi dan tingkah laku. Jadi, penderita fobia biasanya merasakan takut yang amat sangat terhadap suatu objek, kemudian menjerit, lalu berlari, mengunci diri di kamar, atau menampilkan tingkah laku ketakutan.
e.  Temperramental Tantrum
     Perilaku anak yang menunjukkan temperramental tantrum, biasanya tidak cukup diatasi oleh orang tua atau guru saja. Tetapi, membutuhkan bantuan ahli seperti: konselor dan psikolog. Pemahaman terhadap temper tantrum tidak hanya dapat dilakukan dengan mengamati penyebab munculnya perilaku tersebut, tetapi dapat pula diamati dari gejala-gejala yang tampak. Terdapat beberapa gejala yang dapat muncul pada anak temper tantrum, yaitu:
1)      Anak memiliki kebiasaan tidur, makan, dan buang air besar tidak teratur
2)      Sulit beradaptasi dengan situasi, makanan dan orang-orang baru
3)      Lambat beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi
4)      Mood atau suasanan hatinya lebih seing negatif. Anak sering merespons sesuatu dengan penolakan
5)      Mudah dipengaruhi sehingga timbul perasaan marah atau kesal
6)      Perhatiannya sulit dialihkan
7)      Memiliki perilaku yang khas, seperti: menangis, menjerit, membentak, menghentak-hentakkan kaki, merengek, mencela, mengenalkan tinju, membanting pintu, memecahkan benda, memaki, mencela diri sendiri, menyerang kakak/adik atau teman, mengancam, dan perilaku-perilaku negatif lainnya.

f.     Menarik Diri (Withdrawl)
        Withdrawl merupakan salah satu tipe emotional disturbance yang diarahkan ke dalam diri. Berbeda dengan agresivitas yang ekspresi emosinya diarahkan ke luar diri dengan melakukan tindakan-tindakan agresi kepada orang atau benda-benda di luar dirinya, withdrawl merupakan permasalahn emosi yang diarahkan dalam diri dengan kecendurungan menarik diri dari interaksi sosial menurut Hallahan & Kauffman seperti yang dikutip oleh Riana Mashar.
         Menurut Izzaty, anak yang mengalami withdrawl akan sulit bergaul, cenderung bermain sendiri, tidak dapat bersosialisasi dan berbagi dengan teman sekolahnya.
Anak yang mengalami withdrawl cukup mudah diamati karena menunjukkan gejala-gejala umum, seperti :
1)      Tidak mau bersosialisasi atau bergaul selain dengan keluarga
2)      Pendiam, rendah diri, malu, takut, tidak banyak bicara, dan bermain sendiri
3)      Sering melamun, menyendiri, dan tidak suka keramaian
4)      Sibuk dengan kegiatan diri sendiri
5)      Menjadi bahan olok-olokan teman sebaya
6)      Cenderung tidak suka terlibat dalam kegiatan kelompok

3.    Faktor Penyebab Terbentuknya Perilaku Sosial  Emosional Bermasalah
1)    Faktor Penyebab Terbentuknya Perilaku Sosial  
Menurut Nugraha (2005:11.14) perilaku antisosial dan emosional erat hubungannya dengan pengalaman dan penyesuaian sosial ketika anak usia dini. Beberapa faktor penyebab timbulnya sikap antisosial, antara lain sebagai:
a.    Sikap Orang Tua yang Overprotected
Orang tua yang overprotected akan membatasi ruang gerak anak sehingga anak kehilangan kesempatan untuk mengembangkan keterampilan sosialisasi secara sehat dalam lingkungannya. Banyak pembelajaran dan pengalaman berharga dari lingkungan yang tidak diperoleh anak karena sikap terlalu melindungi anak yang tidak pada tempatnya. Sikap overprotected dapat menjadi pemicu perilaku agresif, mementingkan diri sendiri, pemberontak ataupun perilaku apatis.
b.   Sikap Orang Tua yang Pencela, Membandingkan, dan Mencemooh Anak
Interaksi yang buruk dengan orang tua, sangat berpengaruh dalam membentuk cara pandang anak terhadap kehidupannya. Sejak usia dini anak melakukan imitasi terhadap orang tuanya. Tatkala orang tua bersikap buruk terhadapnya maka anak pun akan meniru dan melakukan hal yang sama. Sikap orang tua yang pencela, membandingkan, dan mencemooh anak mencerminkan sikap penolakan terhadap keberadaan anak apa adanya. Secara emosional, perilaku ini sangat melukai anak.
c.    Sempitnya Kesempatan Bergaul dengan Anak Lain
Perkembangan sosial emsional sangat tergantung pada terbukanya kesempatan pada anak untuk bergaul dengan teman dan lingkungannya. Lingkungan memiliki potensi yang sangat kaya dalam memberikan pengalaman sosial pada anak. Mulai dari pengalaman yang positif maupun pengalaman yang buruk. Anak akan menyerap dan mengolah pembelajaran sosial melalui lingkungannya ini. Jika anak tidak memiliki kesempatan bergaul yang cukup maka ia tidak memiliki kesempatan untuk mempelajari respons lingkungan terhadap perilakunya ataupun melakukan penyesuaian sosial.
d.   Pola Asuh Otoriter
Pola asuh otoriter cenderung memicu perilaku antisosial pada anak, seperti tumbuhnya sikap pemberontak, agresif, sikap sok kuasa, dan lain sebagainya. Sikap yang keras serta penerapan disiplin yang tidak dijelaskan pada anak, hanya akan menimbulkan perilaku yang salah asuh. Individu dapat tumbuh menjadi individu yang selalu ingin dituruti, kurang toleran terhadap teman-temannya. Dengan sikap ini maka anak akan ditolak oleh kelompok sosialnya.
e.    Lingkungan yang buruk
Lingkungan yang buruk sangat potensial dalam mempengaruhi anak. Lingkungan yang buruk ini tetap menjadi contoh yang buruk bagi anak. Secara umum anak melakukan proses imitasi terhadap lingkungannya, tanpa mengenal lebih jauh apakah lingkungan itu baik atau buruk. Jika lingkungan dapat menonjolkan perilaku terpuji maka anak pun dapat mempelajari penyerapan dan mengaplikasikan perilaku yang luhur tadi. Sebaliknya jika lingkungan tersebut kurang baik maka anak tetap akan menjadikannya sebagai objek imitasi.
b)   Faktor Penyebab Terbentuknya Perilaku Emosional  
Reynold (Nugraha, 2005:11.5) mengemukakan beberapa faktor yang dapat menyebabkan permasalahan emosi adalah sebagai berikut:
a.    Latar belakang keluarga yang kasar, di mana kebiasaan kehidupan dalam keluarga ini selalu menggunakan cara-cara kasar dalam menyelesaikan masalahnya, seperti menendang, mencaci, memukul, berkelahi, dan lain sebagainya.
b.    Perasaan tertolak secara fisik ataupun emosional oleh pihak orang tua. Anak yang tidak diinginkan biasanya merasakan seperti ini.
c.    Orang dewasa yang belum dewasa dan memiliki kematangan yang cukup untuk melakukan pengasuhan anak.
d.    Kehilangan terlalu dini untuk merasakan kedekatan dengan orang yang disayangi. Misalnya perceraian orang tua atau yatim piatu sejak kecil dan tidak memiliki orang tua pengganti yang mengasihinya.
e.    Orang tua yang tidak mampu mencintai anaknya, disebabkan mereka pun tidak pernah merasakan kasih sayang.
f.     Perasaan cemburu yang berlebihan dan tidak ditangani dengan baik, tatkala ia mendapatkan adik baru dan merasa kehilangan kasih sayang dan perhatian dari orang tuanya.
g.    Situasi baru di mana anak belum siap dalam menghadapi dan tidak menemukan pasangan yang cocok untuk menemaninya.
h.    Mendapat gertakan, gangguan, dan ketidakramahan dari anak yang lain.
i.     Cacat fisik atau memiliki postur tubuh yang berbeda dengan anak lain di mana hal ini jika tidak ditangani dengan baik dapat menjadi gangguan emosional.



D.  Penanganan Gangguan Sosial Emosional pada Anak
1.   Penanganan Gangguan Sosial
Menurut Nugraha (2005:11.15) berikut adalah cara penanganan pada anak yang memiliki gangguan sosial, diantaranya:
a.   Adanya kesempatan untuk bergaul dengan orang-orang dari berbagai usia serta latar belakang yang berbeda. Anak tidak mungkin bisa belajar bergaul bila lebih banyak menghabiskan waktunya sendiri. Semakin banyak dan bervariasi dengan lingkungan bergaulnya, semakin banyak hal-hal yang bisa dipelajari anak sebagai bekal keterampilan dalam bersosialisasi dengan lingkungannya.
b.  Anak tidak hanya berkomunikasi dengan kata-kata yang dapat dipahami, tetapi juga dapat membicarakan dengan topik yang dapat dimengerti dan menarik bagi orang lain.
c.   Anak punya motivasi untuk bergaul. Motivasi ini tergantung seberapa besar perolehan kepuasaan anak melalui aktivitas sosialnya. Apabila anak mendapat cukup banyak kesenangan, penerimaan, dan pengalaman yang mengasyikkan dari lingkungannya, motivasi atau keinginannya untuk meluaskan wawasan, jaringan pergaulannya semakin luas. Namun, sebaliknya kalua ia lebih banyak mendapat kekecewaan, motivasinya untuk bergaul pun semakin berkurang.
d.    Adanya bimbingan. Metode yang paling efektif untuk dapat belajar bergaul dengan baik adalah lewat bimbingan dan pengajaran dari orang yang dapat dijadikan model bergaul yang baik oleh anak. Anak memang bisa saja belajar bergaul sendiri lewat trial and error (coba-coba) atau meniru ingkah laku orang lain, namun akan lebih efektif bila yang menjadi model adalah orang tua. 

E. Pengertian Moral, Sikap dan Nilai
          Moral berasal dari kata latin “mores” yang berarti tata cara, kebiasaan, dan adat. Perilaku sikap moral berarti perilaku yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial, yang dikembangakan oleh konsep moral. Yang dimaksud dengan konsep moral ialah peraturan perilaku yang telah menjadi kebiasaan bagi anggota suatu budaya. Konsep moral inilah yang menentukan pola perilaku yang diharapakan dari seluruh anggota kelompok.
Menurut piaget (sinilungan, 1997), hakikat moralitas adalah kecenderungan menerima dan menaati sistem peraturan. Selanjutnya, kohlberg (gnarsa, 1985) mengemukakan bahwa aspek moral adalah sesuatu yang tidak dibawa dari lahir, tapi sesuatu yang berkembang dan dapat diperkembangkan/dipelajari. Perkembangan moral merupakan proses internalisasi nilai/norma masyarakat sesuai dengan kematangan dan kemampuan seseorang dalam menyesuaikan diri terhadap aturan yang berlaku dalam kehidupannya. Jadi, perkembangan moral mencangkup aspek kognitif yaitu pengetahuan tentang baik/buruk atau benar/salah, dan aspek afektif yaitu sikap perilaku moral itu dipraktekkan. Piaget mengajukan perkembangan moral, yang digambarkan pada aturan permainan. Menurut beliau hakekat moralitas adalah kecenderungan menerima dan menaati sistem peraturan. Piaget membagi perkembangan menjadi 3 fase yaitu:
a.    Fase Absolut
Anak menghayati peraturan sebagai suatu hal yang dapat diubah, karena berasal dari otoritas yang dihormatinya. Disini peraturan sebagai moral adalah obyek eksternal yang tidak boleh diubah.
b.  Fase Realitas
Anak menyesuaikan diri untuk menghindari penolakan orang lain. Peraturan dianggap dapat diubah, karena berasal dari perumusan bersama. Mereka menyetujui perubahan yang jujur dan disetujui bersama, serta merasa bertanggung jawab menaatinya.
b.    Fase Subyektif
Anak memperhatikan motif/kesengajaan dalam penilaian perilaku. Perkembangan moral dipengaruhi upaya membebaskan diri dari ketergantungan pada orang tua, meningkatkan interaksi dengan sesama dan berkontak dengan pandangan lain. Dengan interaksi yang bertambah luas anak makin mampu memahami pandangan orang lain dan berbagi aturan untuk kehidupan bermoral dalam kebersamaan.
        Disamping perilaku moral ada juga perilaku tak bermoral yaitu perilaku yang tidak sesuai dengan harapan sosial karena sikap tidak setuju dengan standar sosial yang berlaku atau kurang adanya perasaan wajib menyesuaikan diri, serta perilaku amoral atau nonmoral yaitu perilaku yang tidak sesuai dengan harapan sosial karena ketidakacuhan atau pelanggaran terhadap standar kelompok sosial.
Ada beberapa masalah dalam penanaman nilai moral pada anak, hal tersebut terkait dengan gangguan-gangguan yang dialami anak selama tahap pertumbuhannya. Gangguan-gangguan tersebut akan mempengaruhi usaha-usaha penanaman nilai moral pada anak. Gangguan-gangguan tersebut, yaitu:
1.  Gangguan perkembangan pervasif. 
Ditandai dengan masalah awal pada tiga area perkembangan utama: perilaku, interaksi sosial, dan komunikasi. Terdiri dari:
a.  Retardasi mental. 
Muncul sebelum usia 18 tahun dan dicirikan dengan keterbatasan substandar dalam berfungsi, yang dimanifestasikan dengan fungsi intelektual secara signifikan berada dibawah rata-rata (mis., IQ dibawah 70) dan keterbatasan terkait dalam dua bidang keterampilan adaptasi atau lebih. 
b.  Autisme 
Dicirikan dengan gangguan yang nyata dalam interaksi sosial dan komunikasi, serta aktivitas dan minat yang terbatas. Gejala-gejalanya meliputi kurangnya responsivitas terhadap orang lain, menarik diri dari hubungan sosial, kerusakan yang menonjol dalam komunikasi, dan respon yang aneh terhadap lingkungan.
c.   Gangguan perkembangan spesifik
Dicirikan dengan keterlambatan perkembangan yang mengarah pada kerusakan fungsional pada bidang-bidang, seperti membaca, aritmetika, bahasa, dan artikulasi verbal.
2.   Defisit perhatian dan gangguan perilaku disruptif.
a.   Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD)
Dicirikan dengan tingkat gangguan perhatian, impulsivitas, dan hiperaktivitas yang tidak sesuai dengan tahap perkembangan.
b.  Gangguan perilaku
Dicirikan dengan perilaku berulang, disruptif, dan kesengajaan untuk tidak patuh, termasuk melanggar norma dan peraturan sosial. Sebagian besar anak-anak dengan gangguan ini mengalami penyalahgunaan zat atau gangguan kepribadian antisosial setelah berusia 18 tahun. 
c.  Gangguan penyimpangan oposisi
Gangguan ini merupakan bentuk gangguan perilaku yang lebih ringan, meliputi perilaku yang kurang ekstrim. Perilaku dalam gangguan ini tidak melanggar hak-hak orang lain sampai tingkat yang terlihat dalam gangguan perilaku.
3.  Gangguan Ansietas
Gangguan ansietas sering terjadi pada masa kanak-kanak atau remaja dan berlanjut ke masa dewasa, biasanya berupa :
a.       Gangguan obsesif kompulsif, gangguan ansietas umum, dan fobia banyak terjadi pada anak-anak dan remaja, dengan gejala yang sama dengan yang terlihat pada orang dewasa.
b.      Gangguan ansietas akibat perpisahan adalah gangguan masa kanak-kanak yang ditandai dengan rasa takut berpisah dari orang yang paling dekat dengannya. Gejala-gejalanya meliputi menolak pergi ke sekolah, keluhan somatik, ansietas berat terhadap perpisahan dan khawatir tentang adanya bahaya pada orang-orang yang mengasuhnya.
Adapun beberapa pendekatan yang dapat digunakan dalam penanaman nilai moral pada anak, menurut Dwi Siswoyo dkk, (2005:72-81) adalah indoktrinasi, klarifikasi nilai, teladan atau contoh, dan pembiasaan dalam perilaku.
1.   Indoktrinasi
Menurut Kohn (dalam Dwi Siswoyo, 2005:72) menyatakan bahwa untuk membantu anak-anak supaya dapat tumbuh menjadi dewasa, maka mereka harus ditanamkan nilai-nilai disiplin sejak dini melalui interaksi guru dan siswa. Dalam pendekatan ini guru diasumsikan telah memiliki nilai-nilai keutamaan yang dengan tegas dan konsisten ditanamkan kepada anak. Aturan mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan disampaiakan secara tegas, terus menerus dan konsisten. Jika anak melanggar maka ia dikenai hukuman, akan tetapi bukan berupa kekerasan.


2.  Klarifikasi Nilai
Dalam pendekatan klarifikasi nilai, guru tidak secara langsung menyampaikan kepada anak mengenai benar salah, baik buruk, tetapi siswa diberi kesempatan untuk menyampaiakan dan menyatakan nilai-nilai dengan caranya sendiri. Anak diajak untuk mengungkapkan mengapa perbuatan ini benar atau buruk. Dalam pendekatan ini anak diajak untuk mendiskusikan isu-isu moral. (Dwi Siswoyo (2005:76).
3. Teladan atau Contoh
Anak-anak mempunyai kemampuan yang menonjol dalam hal meniru. Oleh karena itu seorang guru hendaknya dapat dijadikan teladan atau contoh dalam bidang moral. Baik kebiasaan baik maupun buruk dari guru akan dengan mudah dilihat dan kemudian diikuti oleh anak. Figur seorang guru sangat penting utuk pengembangan moral anak. Artinya nilai-nilai yang tujuannya akan ditanamkan oleh guru kepada anak seyogyanya sudah mendarah daging terlebih dahulu pada gurunya. 
4.   Pembiasaan dalam Perilaku
Kurikulum yang terkait dengan penanaman moral, lebih banyak dilakukan melalui pembiasaan-pembiasaan tingkah laku dalam proses pembelajaran. Ini dapat dilihat misalnya, pada berdoa sebelum dan sesudah belajar, berdoa sebelum makan dan minum, mengucap salam kepada guru dan teman, merapikan mainan setelah belajar, berbaris sebelum masuk kelas dan sebagainya. Pembiasaan ini hendaknya dilakukan secara konsisten. Jika anak melanggar segera diberi peringatan.
Pendidikan moral tidak hanya terbatas pada lingkungan sekolah oleh guru saja. Ini dapat dilakukan oleh siapa saja, kapan saja, dan dimana saja. Tiga lingkungan yang amat kondusif untuk melaksanakan pendidikan ini, yaitu lingkungan keluarga, lingkungan pendidikan, dan lingkungan masyarakat.




BAB III
PENUTUP

A.       Kesimpulan
1.      Perkembangan sosial adalah kemampuan seseorang dalam berperilaku di dalam lingkungan sekitarnya (masyarakat) yang sesuai dengan tuntutan sosial (norma, nilai atau harapan sosial).
Perkembangan emosional adalah suatu keadaan yang kompleks, dapat berupa perasaan ataupun getaran jiwa yang ditandai oleh perubahan biologis yang muncul menyertai terjadinya suatu perilaku.
Moral berasal dari kata latin “mores” yang berarti tata cara, kebiasaan, dan adat. Perilaku sikap moral berarti perilaku yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial, yang dikembangakan oleh konsep moral
2.      Permasalahan sosial yang sering terjadi pada anak usia dini adalah sebagai berikut:  Maladjustment, Egosentrisme, Anak yang terisolasi, Agresif, Negativisme, Pertengkaran, Mengejek dan menggertak, perilaku yang sok perkuasa, dan prasangka
3.      Permasalahan emosional yang sering terjadi pada anak usia dini adalah sebagai berikut: (kekurangan afeksi, cemas, hipersensitivas, dan fobia).
4.      Permasalahan Moral yang sering terjadi pada anak usia dini adalah: Retardasi mental, Autisme, Gangguan prilaku, ADHD dll.

B.           Kritik dan Saran
Berbagai faktor dapat mempengaruhi perkembangan sosio emosional dan moral anak, kita sebagai guru dan orang tua wajib membimbing anak agar dapat tumbuh berkembang dengan optimal. Demikian makalah ini kami susun semoga dapat bermanfaat. Kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan.


DAFTAR PUSTAKA
Hildayani, Rini, dkk. 2014. Psikologi Perkembangan Anak. Jakarta : Universitas Terbuka.
Hurlock, E.B. 1978. Child Development. Tokyo : McGraw Hill. Inc. International Student ed.
Nugraha, Ali, dkk. 2005. Metode Pengembangan Sosial Emosional. Jakarta : Universita Terbuka.
Syamsuddin, A. 2000. Psikologi Pendidikan. Bandung : Remaja Rosda Karya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Metode Pembiasaan pada Anak Usia Dini

BAB I PENDAHULUAN 1.1        Latar Belakang             Anak adalah buah hati   yang sangat dibanggakan setiap orang tua agar mereka meraih keberhasilan di dalam hidupnya. Oleh karena itu, orang tua yang memahami peran dan kewajibannya selalu memperjuangkan anak-anak mereka agar tidak terjebak di jalan hidup yang salah. Segala cara dicoba, segala metode diterapkan, kerja keras dan cerdas diupayakan, demi si anak merasakan kebahagiaan ketika meraih kesuksesan.              Hal yang sangat menyedihkan apabila anak-anak tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang salah. Hal yang sangat mengkhawatirkan apabila si anak memperoleh pendidikan dari orang-orang yang tidak tepat. Dan, hal yang sangat mengecewakan apabila si anak tidak pernah   merasakan keberhasilan, baik itu keberhasilan besar maupun kecil, di sekolah maupun di dalam kehidupan yang lebih luas.             Oleh sebab itu, agar si anak meraih kesuksesan sekarang dan di masa yang akan datang, orang tua wajib mendidik

MAKALAH KEAKSARAAN FUNGSIONAL

BAB I PENDAHULUAN 1.1       Latar Belakang Salah satu program pendidikan dalam masyarakat yang paling efektif dilakukan adalah program pemberantasan buta aksara. Bagi mereka yang telah tidak lagi buta aksara, putus sekolah atau tamat sekolah tetapi tidak melanjutkan, perlu disediakan suatu program agar dapat meningkatkan kemampuan pengetahuan, keterampilan, dan memperluas wawasan sebagai bekal untuk mengembangkan diri, bekerja, atau berusaha secara mandiri. Keberadaan program pemberantasan buta aksara sangat penting sebagai sarana belajar masyarakat. Dengan demikian, sebagai sarana yang diharapkan dapat menjadi pembina dalam kegiatan pemberantasan buta aksara dan dapat memanfaatkan makalah ini sebagai sumber yang baik. Keaksaraan merupakan keadaan mengenai aksara yang meliputi membaca, menulis, berhitung, dan berkomunikasi secara fungsional yang memungkinkan seseorang untuk secara terus-menerus mengembangkan kompetensinya sehingga dapat meningkatkan mutu dan taraf kehidupa